Sebagaimana dilansir oleh Panyebar Semangat Edisi 18 tanggal 1 Mei 2010, Ki Manteb Sudarsono dari Indonesia untuk bidang Kebudayaan, Tomy Fernandez dari Philipina untuk bidang Pembangunan Regional dan seorang Pakar dari Taiwan yang tak disebutkan namanya untuk Bidang Iptek , mendapatkan penghargaaan dari Nippon Keizaei Shimbun (Nikkei), sebuah koran tertua di Jepang yang beroplah 3 juta eksemplar setiap terbitan yang upacaranya akan dilakukan tanggal 19 Mei 2010 di Tokyo, Jepang.
Oleh Nikkei, ketiga tokoh tersebut dinilai berjasa di bidang masing-masing, bukan saja pada skala regional, tetapi juga glogal.  Secara politis, kehadiran Ki Manteb Sudarsono di Jepang pada acara tersebut bisa membungkam Malaysia atas klaimnya terhadap wayang kulit.  Lebih tegas lagi, Ki Manteb menyatakan kesediaannya untuk hadir dengan sebuah syarat agar diperkenankan untuk mengenakan pakaian kejawen lengkap (Bukan Jas sebagai pakaian resmi) dan diberikan kesempatan untuk memperagakan sabet pewayangan selama 10 menit (diluar pidato yang hanya 10 menit untuk tiap penerima) dengan iringan karawitan lengkap.  Disamping itu, dia juga meminta untuk menyajikan acara ritual dilengkapi dengan pembakaran dupa.  Untuk yang terakhir ini pihak Nikkei tidak menyetujui dengan pertimbangan keamanan lokasi yang melarang penggunaaan api sekecil apapun.
Terbayang oleh saya, bagaimana Pak Manteb akan menggunakan 20 menit kesempatan langka ini untuk memperkenalkan wayang kulit pada khalayak dunia melalui event bergengsi ini.
Keterlambatan saya memposting kiriman dari Mas Bambang Supriyadi ini seakan menjadi blessing in disguess, berkah tersembunyi.  Bagaimana tidak.  Lakon Amarta binangun yang di gelar di Universitas Brawijaya Malang ini berlangsung disaat kita gayeng menghadapi klaim Malaysia terhadap kesenian wayang, lalu pada saat yang tepat saya bisa memberikan pengantar dengan mengutip berita di Panyebar Semangat tentang rencana keberangkatan Ki Manteb Sudarsono mewakili Indonesia menerima penghargaan tingkat dunia dengan wayang sebagai medianya.
Baiklah.  Amarta binangun yang saat ini saya posting adalah versi lain dari Lakon Babad Alas Wanamarta yang menceritakan kerja keras Pandhawa membangun negara Amarta.  Plot ceritanya nyaris sama hanya berbeda di masalah penekanan.  Jika babad Alas Wanamarta lebih menekankan pada hasil, sedangkan Amarta Binangun lebih pada pada prosesnya.
Seperti biasa, pak Manteb telah memberikan warna baru pada corak pewayangan.  Terasa lebih eksperimental dan terasa sekali nilai-nilai filsafatis yang terangkai sepanjang pagelaran.
Jika ada yang dinamakan kekurangan adalah faktor teknis perekaman videonya.  Terasa sekali moment-moment penting yang harusnya terlihat, terlewatkan begitu saja akibat pengambilan gambar yang kurang proporsional.  Tapi secara keseluruhan, kepiawaian Ki Manteb Sudarsono tak tertutup hanya karena aspek-aspek teknis diluar pedhalangannya sendiri.
Selamat menikmati.