Kamis, 03 September 2009

Menangkal Penyakit Ukhuwah

Allah swt telah menegaskan, bahwa orang-orang yang beriman adalah bersaudara atas dasar iman. Di dalam kehidupan bersaudara ini, Rasulullah saw mempertajam penjelasan, agar satu orang dengan orang mukmin yang lain bisa bekerja sama dan saling mengisi. Bahkan beliau mengibaratkan kesatuan orang-orang mukmin idelanya bisa menyerupai satu tubuh, sebagaimana sabda beliau;

مثل المؤمنين في تراحمهم وتوادهم كالجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى
“Perumpamaan kaum mukminin dalam berkasih-sayang dan saling mencintai, bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh merasa demam dan tidak bisa tidur
Namun jika kita memperhatikan realitas umat Islam hari ini, idealisasi yang digambarkan oleh al-Qur’an dan hadis tersebut jauh panggang dari api. Jauh dari terealisasi. Bahkan yang terjadi sebaliknya, di antara umat Islam timbul berbagai perselisihan dan perpecahan. Tentu hal ini sebuah fenomena yang memprihatinkan. Sebab di satu sisi umat Islam saat ini harus berhadapan dengan berbagai problem kehidupan, tetapi di sisi lain umat Islam terpecah-pecah. Akibat langsungnya tentu menjadi tidak efektif dalam upayanya mengatasi berbagai problematika kehidupan ini.dan semakin mandulnya upaya untuk memajukan ummat ini
Mengingat perintah Allah dalam bersaudara seiman agar senantiasa memperbaiki persaudaraan, maka selayaknya setiap mukmin memperhatikan persoalannya dalam persaudaraan ini. Mengapa umat Islam ini berpecah belah, lalu apa sajakah langkah untuk menghadapi situasi yang memprihatinkan ini.
Al-Qur’an, ketika menyebutkan bahwa kaum mukminin bersaudara dan memerintahkan untuk memperaikinya, telah pula memberikan resep untuk itu. Dalam surat Al Hujurat Allah SWT memaparkan 7 kiat bagi kita untuk menangkal virus-virus ukhuwwah yang bisa menghancurkan shaf ukhuwwah yang telah dibina.
1- Tabayyun
Tabayyun berarti mencari kejelasan informasi dan mencari bukti kebenaran informasi yang diterima. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (al-Hujurat:6)
Tabayun memiliki nilai tersendiri untuk menghindarkan dari segala tindakan atas dasar prasangka. Prasangka bisa benar bisa pula salah. Jika ketepatan prasangka itu salah, sementara seseorang sudah bertindak, maka tindakan itu tak akan bisa dihapus selamanya. Untuk itulah, jika ada berita dari seseorang yang fasik, yang kepribadiannya meragukan, maka perlu dicek ulang agar kelak tidak menyesal dengan keputusan yang diambil.
2- ‘Adamus Sukhriyyah
Yaitu, tidak memperolok-olokkan orang atau kelompok lain. Firman Allah SWT:
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah satu kaum memperolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang memperolok-olokkan).” (QS 49:11)
Saat ini terdapat banyak kelompok atau organisasi dakwah. Harus kita sadari bahwa diantara kelompok-kelompok dakwah tersebut terdapat perbedaan yang prinsipil maupun yang tidak prinsipil. Perbedaan dalam menentukan al-hadaful a’la (sasaran tertinggi) termasuk dalam masalah prinsip.
Kondisi ini memancing suasana tanafus (persaingan) yang kadang bentuknya tidak sehat. Persaingan ini akan semakin tidak sehat dengan tampilnya oknum-oknum yang senang melontarkan ungkapan-ungkapan bernada cemooh persaingan.
Berhimpunnya kelompok-kelompok dakwah dan harakah yang ada di bumi sekarang ini adalah suatu mimpi indah. Sebagaimana yang ditulis DR. Yusuf Qardhawi, maka kesatuan wala’ (loyalitas) dan tumbuhnya suasana ta’awun dalam menghadapi konspirasi para thaghut adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi. Dan kalaupun hal ini belum terwujud karena ada beberapa hal yang belum bisa kita lakukan, maka tidak mampukah kita sekadar meninggalkan tradisi sukhriyyah dan perasaan ana khairun minhu (saya lebih baik daripadanya) seperti yang dinyatakan iblis???
3- ‘Adamul Lamz
Maksudnya tidak mencela orang lain. Ini ditegaskan dengan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mencela diri sendiri’.
Mencela sesama muslim, oleh ayat ini dianggap mencela diri sendiri, sebab pada hakekatnya kaum muslimin dianggap satu kesatuan. Apalagi jika celaan itu adalah masalah status dan standar kebendaan. Allah sendiri menyuruh Rosul dan orang-orang yang mengikutinya untuk bersabar atas segala kekurangan orang-orang mukmin.
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru tuhannya di waktu pagi dan sore hari dengan mengharap keridlaanNya (al-Kahfi:28).
4- Tarkut Tanabuz
Yakni meninggalkan panggilan dengan sebutan-sebutan yang tidak baik terhadap sesama muslim. Ini berdasarkan firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu saling memanggil dengan sebutan-sebutan (yang buruk).” (al-hujurat:11)
Sebutan tidak baik akan menyebabkan orang yang disebut sakit hati. Jika hati sudah sakit, maka persaudaraan pasti retak. Karena itulah penyebutan nama atau pelabelan seseorang dengan nama yang tidak baik akan merusak persaudaraan.
Tanabuz dalam bentuk yang paling parah adalah berupa pengkafiran terhadap orang yang beriman. Pada kenyataannya masih saja ada orang atau kelompok yang dengan begitu mudahnya menyebut kafir kepada orang yang tidak tertarik untuk masuk ke dalam kelompok tersebut.
Sama juga dalam pengertian ini adalah pemberian label-label buruk kepada sesama kaum muslimin, seperti pemberian label Wahabi, Khawarij, teroris, fundamentalis dan berbagai sebutan yang bernada negatif adalah termasuk ke dalam makna ayat di sini.
5- Ijtinabu Katsirin minadzdzan
Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa.” (al-Hujurat:12)
Pada dasarnya seorang muslim harus berbaik sangka (husnudhan) terhadap sesamanya. Dalam setiap permasalahan dengan sesama muslim, hendaklah menghadapinya dengan sangkaan yang positif. Baru ketika ada bukti yang jelas tentang kesalahan tersebut, seseorang bisa mengambil sikap. Tetapi sebaliknya, kepada orang kafir dan musuh Islam, kaum muslimin harus menaruh curiga bila mereka bermanis budi. Allah SWT sendiri menegaskan:
“Sesungguhnya orang-orang kafir menginfakkan harta-harta mereka untuk mengahalangi manusia dari jalan Allah.” (al-Anfal:36)
Su’udhan atau buruk sangka adalah salah satu cara syaithan mencerai-beraikan bani Adam (barisan kaum muslimin). Dalam sebuah hadits dari Ummul Mukminin Shafiyah binti Huyai, dia bercerita : “Rasulullah saw pernah i’tikaf di masjid, lalu aku datang menjenguk beliau pada suatu malam untuk berbincang-bincang dengan beliau. (Setelah selesai) aku pun bangkit untuk kembali dan beliau pun bangkit bersamaku untuk menemani. Ketika itu lewatlah dua orang laki-laki Anshor ra. Tatkala mereka melihat Rasulullah saw, mereka pun mempercepat langkahnya. Rasulullahsaw pun berseru : “Perlahanlah! Wanita ini adalah Shafiyah!” Dua orang itupun berkata : “Subhanallah, ya Rasulullah!” Maka Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya syaithan menjalar pada diri Adam pada aliran darah dan sungguh aku khawatir syaithan akan melemparkan kejahatan pada hati kalian berdua (ketika melihat aku) lalu terucaplah sesuatu.” (HR Bukhari)
6- Adamut Tajassus
‘Adamut Tajassus adalah tidak mencari-cari kesalahan dan aurat orang lain. Perbuatan ini amat dicela Islam. Allah swt amat suka bila kita berusaha menutup aib saudara kita sendiri. Firman Allah swt: ” Dan janganlah kamu sekalian mencari-cari kesalahan (dan aurat) orang lain.” (al-Hujurat:12)
Demikianlah di dalam islam, Allah mengajarkan agar umat islam tidak suka memata-matai saudaranya. Tersebut sebuah kisah di kalangan shahabat. Seseorang menemui Abdullah bin Masud dan berkata, “Itu Walid bin Uqbah dari jenggotnya menetes khamar.” Ibnu masud berkata, ” kita dilarang bertajassus. Jika memang tampak jelas suatau kemaksiatan, kita pun baru mengambil sikap.”
Jika di kalangan shahabat, untuk kepentingan masyarakat islam saja mereka enggan memata-matai, namun yang terjadi saat ini, banyak orang yang mengaku islam dengan mengatasnamakan penelitian ilmiah, lalu mengamati orang lain dan ujung-ujungnya adalah untuk mendeskriditkannya. Khususnya hal ini terhadap kelompok yang dicurigai sebagai kelompok militan.
Atau seperti yang dilakukan seorang yang bernama Abdurrahman Assegaf beberpa waktu yang lalu, mematai-matai orang lain lalu membuat pernyataan yang mendeskriditkan kelompok umat islam. Semua tindakan ini adalah tindakan yang terlarang dan hanya akan merusak persaudaraan (Ukhuwwah).
7- Ijtinabul Ghibah
Allah SWT menegaskan: “Dan janganlah kamu sekalian menggunjing sebagian lain.Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?…”
Definisi ghibah, sebagaimana telah disebutkan oleh Rasulullah adalah “Ghibah itu kamu menyebut saudaramu tentang apa-apa yang dia tidak suka. Mereka bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika yang ada pada saudaraku itu seperti yang aku katakan?, Rasulullah menjawab, JIka padanya seperti yang kamu sebutkan, itulah yang dinamakan ghibah. Dan jika tidak ada padanya maka berarti kamu telah menuduhnya.” (HR Muslim dari Abi Hurairoh).
Dari riwayat tersebut, kia garis bawahi bahwa ketika seseorang menceritakan kejelekan orang lain, maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, jika yang diceritakannya benar-benar terjadi maka itulah ghibah. Kedua, jika yang diceritakannya itu tidak terjadi berarti ia telah memfitnah orang lain.
Begitu besarnya dosa ghibah, sampai Allah SWT menyamakan orang yang melakukannya dengan orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri.
Meskipun al-qur’an sudah menjalaskan besarnya dosa ghibah, namun program ghibah kini juga tak kalah diminati oleh masyarakat. Buktinya semua stasiun televisi memiliki acara khusus yang berisi ghibah. Mungkin yang terbayang tentang ghibah begitu besar, nyatanya sekedar menggambarkan bentuk tubuh seseorang saja sudah mendapat teguran keras dari Rasulullah saw, lalu bagaimana dengan menyebutkan sesuatu yang lebih keji dari itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar